
Terwujudnya Masyarakat Desa
Senggreng Sejahtera dan
Mandiri
Jauh sebelum desa ini ramai, awalnya Senggreng adalah hutan lebat yang belum terjamah manusia. Dalam istilah Jawa, kawasan ini disebut sebagai “alas gung lewang-lewang, jalmo moro jelmo mati” artinya tempat yang begitu sunyi dan liar. Sekitar tahun 1830, setelah berakhirnya Perang Diponegoro, banyak pasukan Mataram yang berpencar ke berbagai daerah, termasuk wilayah timur Pulau Jawa. Sebagian dari mereka menemukan tempat baru di wilayah Malang, membuka hutan untuk dijadikan ladang dan tempat tinggal. Dari sinilah cikal bakal berbagai kampung Mentaraman bermula, termasuk yang kini menjadi bagian dari Desa Senggreng.
Pembukaan wilayah ini dipelopori oleh empat tokoh penting, yaitu Regunung, Trunowongso, Malangjoyo, dan Kromodikoro. Mereka membagi daerah menjadi dua bagian, timur dan barat dengan tugu batu sebagai penanda wilayah yang masih bisa ditemukan hingga kini, di batas Desa Senggreng dan Ngebruk. Tempat istirahat mereka perlahan berkembang menjadi pusat pertemuan warga, dan kini menjadi pusat aktivitas jual beli, yaitu Pasar Ngebruk.
Saat membuka hutan, konon ditemukan sebuah gentong besar yang berada di atas pohon. Ketika gentong tersebut tertiup angin, terdengar suara mendengung yang dalam istilah bahasa Jawa, disebut “gembrengan.” Dari peristiwa itu, desa dengan tiga dusun ini kini dikenal masyarakat sebagai Desa Senggreng. Tiga dusun, yaitu Ngrancah, Karajan, dan Kecopokan tidak lepas dari kepercayaan masyarakat tentang Mbah Bajing. Mbah Bajing dan Dyah Ayu Compo, istrinya menjadi tokoh yang membuka hutan belantara di dekat aliran Sungai Brantas. Kini, makam Mbah Bajing diyakini membawa berkah bagi warga yang tinggal di dusun dan bagi siapa saja yang ingin mencari keberkahan.
Made with ❤️ by MMD Filkom Kelompok 51